Bagaimana Pengusaha mengkombinasikan kepentingan bisnis dengan pengaturan pengupahan?
Setiap awal tahun, sudah seperti “keharusan” bahwa Pengusaha harus melakukan kenaikan upah. Hal ini disebabkan :
- Adanya perubahan besaran Upah Minimum;
- Keinginan” Pekerja untuk adanya penghargaan kinerja atas kerja yang telah dijalankan dalam satu tahun yang telah dilalui.
Padahal pada saat terjadi perubahan besaran upah minimum, tidak ada upah karyawan yang dibawah besaran upah minimum baru, tidak ada “keharusan” untuk melakukan kenaikan upah. Namun tentu hal tersebut tidak bisa diterima Pekerja begitu saja. Ada pedoman dalam kalangan Pekerja bahwa setiap tahun harus ada kenaikan upah karena dirasa terjadi inflasi dan peningkatan kebutuhan hidup.
Parahnya peningkatan kebutuhan hidup tersebut ternyata dibebankan kepada Pengusaha melalui tuntutan kenaikan upah.
Lebih jauh dapat dikatakan bahwa sebenarnya keuntungan perusahaan tidak diraih dengan selisih jual-beli di pasar tapi dari setiap unit barang yang diproduksi dalam satuan waktu. Karena itu, untung-ruginya perusahaan tidak berhubungan langsung dengan kenaikan upah buruh.
Lalu bagaimana Pengusaha harus menyikapi kondisi tersebut diatas?
Kita mengenal sistem pengupahan “fleksibel”, dimana doktrin dari sistem pengupahan ini adalah mengutamakan kenaikan upah berdasarkan ‘kemampuan perusahaan’ ‘kondisi perekonomian’ dan ‘performa kerja’.
Doktrin tersebut biasanya digambarkan dengan grafik mengenai elastisitas upah dan kesempatan kerja. Umumnya dikatakan, jika perekonomian membaik atau perusahaan sukses, para buruh akan secara otomatis mendapatkan keuntungannya. Banyak pengamat ekonomi yang kritis meragukan doktrin di atas. Dalam kenyataannya, ketika keuntungan perusahaan meningkat, para pemilik modal tidak membagi keuntungannya kepada buruh, tapi membeli mesin baru, yang pada akhirnya terjadi efisiensi tenaga kerja.
Kaum buruh menyadari betul situasi-situasi di atas. Mereka menyadari pula bahwa upah minimum pun menjadi tolak ukur perhitungan jenis-jenis upah lainnya, seperti upah lembur, pesangon, dan pembayaran tunjangan lainnya.
Persoalan lainnya, karena ikatan kerja buruh bersifat kontrak jangka pendek bertahun-tahun maka masa kerjanya selalu di bawah satu tahun. Karena cukup menguntungkan dalam membayar upah jenis hubungan kerja ini seolah dilanggengkan. Jenis-jenis hubungan kerja yang memangkas masa kerja ini semakin lumrah dipraktikkan di berbagai sektor dan jenis industri.
Dalam konteks hubungan kerja itu pula Keputusan Menteri Nomor 49 Tahun 2004 yang kemudian teranyar dikeluarkan Peraturan Menteri No.01 tahun 2017 tentang Struktur Skala Upah adalah upaya untuk menjembatani beberapa permasalahan tadi, walaupun kenyataannya “sulit diterapkan”.
Sudah siapkah pemangku kebijakan pengupahan mengkompilasikan beberapa sudut pandang dan permasalahan diatas, untuk menjadi suatu “kebijakan pengupahan” yang selaras dengan kepentingan bisnis dan stake holder bisnis?